Bahasa Latin ini berarti "Untuk kota dan dunia". Biasanya diterapkan untuk amanat Uskup Roma (Paus) yang menyampaikan pesan bukan saja kepada umat katolik yang dipimpinnya (digambarkan sebagai "kota", urb), melainkan juga kepada seluruh dunia (orbis), juga terutama kepada "orbis rei publicae" (mereka yang memegang roda pemerintahan).
Contohnya pada Paskah tahun 2010, Uskup Roma (Paus Benediktus XVI) menyampaikan amanat tentang pembebasan rohani baik secara manusiawi, pribadi maupun sosial; bebas dari perbudakan kuasa aneka dosa, supaya kita lebih maju dalam mewujudkan keadilan, kasih dan perdamaian, yang adalah sifat-sifat utama Kerajaan Allah : "The Gospel has revealed to us the fulfilment of the ancient figures: in his death and resurrection, Jesus Christ has freed us from the radical slavery of sin and opened for us the way towards the promised land, the Kingdom of God, the universal Kingdom of justice, love and peace. This “exodus” takes place first of all within man himself, and it consists in a new birth in the Holy Spirit, the effect of the baptism that Christ has given us in his Paschal Mystery. The old man yields his place to the new man; the old life is left behind, and a new life can begin (cf. Rom 6:4). But this spiritual “exodus” is the beginning of an integral liberation, capable of renewing us in every dimension – human, personal and social."
Pesan Urbi et Orbi dahulu juga berulang kali disampaikan oleh alm Uskup Leo Soekoto SJ dalam kedudukan beliau sebagai Uskup Agung Jakarta, metropolitan ibukota Indonesia, tempat pusat pemerintahan Republik Indonesia. Maka tidaklah mengherankan jika sekarang pun, dalam kedudukan yang strategis yang sama, Uskup Agung Jakarta Mgr Ign Suharyo, menyampaikan pesan Urbi et Orbi melalui Renungan Paskah: Amanat untuk Hidup Bermartabat tulisah Mgr Ignatius Suharyo, Uskup Keuskupan Agung Jakarta.. (Kompas 7/4/12, hal. 1 dan 15).
Mari kita simak.
(Copas atas kebaikan mas Koekoeh Hadi Santosa)

"Rasanya sangat sedih ketika beberapa waktu lalu, dalam rangka refleksi hari lahir Pancasila, saya membaca rumusan Pancasila yang dipelesetkan. Bunyinya: (1) Keuangan yang mahakuasa; (2) Kemanusiaan yang jahil dan biadab; (3) Persatuan hedonesia; (4) Kekuasaan yang dipimpin oleh nafsu mencari jabatan demi kelompok dan kroni; dan (5) Keadilan bagi yang berkuasa dan membayar.
Namun, akhirnya saya sampai kepada kesimpulan, yang menulis pastilah tidak bermaksud melecehkan Pancasila. Sebagai warga negara yang mencintai bangsanya, ia hanya ingin mengungkapkan kegundahan tentang keadaan bangsa yang, menurut penilaiannya, tata nilai dan kesadaran moralnya terjungkir balik.
Kegundahan itu tidak tanpa alasan kalau kita baca judul-judul berita yang sehari-hari muncul di media massa, seperti ”Elite Politik Tunjukkan Kepalsuan” (Kompas, 2/4/2012, halaman 4). Penelitian pun sampai pada kesimpulan bahwa kebijakan publik dipertanyakan bahkan tidak dipercaya (idem, halaman 5).
Dalam situasi seperti itulah umat Kristiani merayakan Paskah. Lilin Paskah yang dinyalakan dengan api baru selalu diberi tulisan tahun ketika Paskah itu dirayakan. Pesannya: perayaan Paskah mempunyai makna, khususnya pada tahun ketika Paskah itu dirayakan.