Mengenai Saya

Foto saya
Seorang penggemar buku sejak remaja. Banyak baca. Sambil baca buku bahasa asing, menerjemahkan sekalian. Banyak ngobrol. Maka jadi guru, trainer dan konselor. Belajar terus supaya bisa memberi jawaban dalam banyak hal.

Rabu, 25 April 2012

ASG Sebagai Asas Refleksi

Dalam suatu komen di dalam Facebook saya diminta membabar bagaimana "ASG sebagai asas-asas refleksi". Jawaban juga saya sampaikan dalam komen. Namun supaya tidak tersilap atau "folded" tergulung begitu saja, maka jawaban saya itu saya dokumentasikan agar bisa didownload, dipelajari, dan diurai lagi oleh teman-teman dengan timbulnya "pertanyaan-pertanyaan baru".... hehehe....

Sebagai "asas-asas refleksi" atau pedoman permenungan, ASG memberi dasar-dasar logis dan iman kepada pemikiran kita atas masalah-masalah yang kita hadapi dalam bermasyarakat dan perlu kita sikapi. Asas-asas dasar itu adalah:
A. Pandangan hakiki mengenai manusia yang menuntut penghargaan pada setiap orang. Lihat GS 3. Dalam hal ini ASG terbedakan dari ajaran-ajaran sosial lainnya. Pribadi manusia diuraikan sebagai citra Allah (GS 12), suram karena dosa (GS 13), kesatuan utuh jiwa-badan, rohani-jasmani (GS 14), mempunyai akal budi (GS 15), dibimbing hati nurani (GS 16), mempunyai kebebasan (GS 17), mengalami kematian (GS 18), ditebus dan diperbarui dalam Kristus (GS 22). Manusia bukanlah pribadi yang terasing sendiri, melainkan mempunyai kodrat sosial yang mempunyai kemampuan untuk saling melengkapi dan memperkaya, hidup bersama dengan damai karena dipanggil untuk mengasihi Tuhan dan sesama (GS 24-25). Masyarakat merupakan realitas sosialitas manusia, termasuk lembaga-lembaga di dalamnya (keluarga dan negara). Gereja membela martabat manusia (CA 13; 55), hak-hak manusia (RH 17; CA 22) dan kesejahteraan manusia (RH 13; 14).


Dari titik tolak di atas maka kerangka pertama ASG adalah : "suatu bentuk ungkapan dari antropologi Kristen, buah-buah pewahyuan cinta kasih Allah untuk pribadi manusia" (Kompendium ASG 9). Suatu ajaran humanisme kristiani yang memenuhi standar-standar rencana cinta kasih Allah di dalam sejarah, sebuah humanisme yang terpadu dan solider yang mampu menciptakan sebuah tatanan sosial, ekonomi dan politik yang baru yang dilandaskan pada martabat dan kemerdekaan setiap pribadi manusia, agar menghasilkan perdamaian, keadilan serta kesetiakawanan. (Kompendium ASG 11).
B. Sebuah klarifikasi yang menentukan tentang ASG dibuat dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis: ajaran sosial Gereja “termasuk dalam ranah teologi, bukan ideologi, dan khususnya teologi moral”. (Yohanes Paulus II, Ensiklik SRS, 41). Ajaran sosial Gereja tidak dapat didefinisikan seturut parameter-parameter sosio-ekonomi.
Ajaran sosial Gereja bukanlah sistem ideologis atau pragmatis yang bermaksud untuk menentukan dan menciptakan relasi-relasi ekonomi, politik dan sosial, melainkan sebuah kategori yang mandiri. Ajaran sosial Gereja “merupakan perumusan cermat hasil-hasil refleksi yang saksama tentang kenyataan-kenyataan hidup manusiawi yang serba rumit, dalam masyarakat maupun dalam tatanan internasional, dalam terang iman dan tradisi Gereja." (Kompendium ASG 72).
Tiga fase refleksi ASG: (1) taraf fondasional (pendasaran) motivasi; (2) taraf direktif (pengarahan) kaidah untuk kehidupan di tengah masyarakat; (3) taraf deliberatif (keputusan) hati nurani, yang dipanggil untuk mengantarai norma objektif serta norma umum dalam situasi sosial yang konkret dan tertentu. (Kompendium ASG 73).
C. Kaidah pokok:
+ Perkembangan sejati dari manusia: seutuhnya hingga sepenuh-penuhnya (Populorum Progressio, SRS)
+ Kesejahteraan umum (GS 71.73.75; CA 11.52)
+ Solidaritas (PP 3.44.66.79; SRS 26.38.40; CA 10)
+ Subsidiaritas (MM 53; QA 70)
+ Diusahakan dalam kebenaran, keadilan, kasih dan damai (sejahtera).

Sebagai pedoman berpikir, kita sebut kerangka kerja atau asas-asas refleksi, dengan paradigma dan batasan-batasan teologi moral. Hasilnya adalah pertimbangan-pertimbangan dan keputusan-keputusan moral yang khas kristiani. Keputusan-keputusan moral itulah yang kemudian menjadi pedoman bertindak, yang dilaksanakan dalam interaksi sosial dengan sesama manusia. Gereja memang merupakan "kekuatan moral". Dan tumpuan kekuatan moral Gereja adalah pandangan iman atas manusia dengan segala sifat dan hak yang harus dibela, menekankan solidaritas, subsidiaritas, dan perjuangan yang benar, yang adil, yang dijiwai kasih dan berjalan damai.

Maksud kata-kata "bukan sistem ideologis atau pragmatik" adalah untuk menggambarkan supremasi ASG atas aliran-aliran ideologi yang ada, maksudnya, ASG tidak terkait dengan ideologi tertentu. Dengan begitu ASG bisa diterapkan di negara demokrasi, tetapi juga bisa diterapkan di negara monarki, bahkan yang autoriter sekalipun di mana saja umat Kristiani berada. ASG juga diterapkan sebagai pedoman bertindak umat kristiani di negara-negara berideologi sosialis dan komunis juga.

ASG bukan sistem pragmatik dalam arti petunjuk teknis kerja, atas dasar oportunitas dan utilitas terbatas pada masa tertentu karena punya paradigma jangka tak terbatas hingga hidup kekal. Dalam masyarakat pragmatik yang jadi ukuran adalah "have" hasil kerja (kinerja, efektivitas/efisiensi), sedang ASG lebih mengarah pada "being" (berada dengan cara) baik, benar, adil, kasih dan damai. Masyarakat pragmatik menggunakan paradigma "memperalat-diperalat". ASG mengajak orang menjadi tidak sekedar instrumentalis, menjadi diri sekedar alat atau menjadikan orang lain alat, melainkan lebih mengajak diri menjadi kebaikan, maka mementingkan persahabatan, kebersamaan. Pragmatisme membatasi kemungkinan-kemunkinan menurut pemikiran ilmiah. ASG mengajak kita memperhitungkan kemungkinan campur tangan ilahi menurut iman. Maka bersifat terbuka kepada kemungkinan-kemungkinan adi kodrati. Dalam masyarakat pragmatik doa itu tidak berguna. Dalam ASG doa itu punya "power".

"Kerangka berpikir" atau "pedoman bertindak" pertama-tama merupakan refleksi atas persoalan yang dihadapi dengan batasan-batasan tertentu,sifatnya lalu seakan-akan lebih teoritis. Benar. Tetapi dari refelksi lalu akan timbul keputusan moral. Tentu saja keputusan itu lalu dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. ASG akan menjadi "tampak" operational jika dikaitkan dengan masalah nyata, atau kasus nyata. Misalnya:
(1) Dalam hal ekonomi, ada tekanan untuk membuat sertifikasi beras. Harus ada sertifikat, apakah beras tertentu produk organic farming atau non-organic farming. Petani katolik harus menentukan sikap, ikut sertifikasi atau tidak. ASG menjadi pedoman berpikir, sekaligus menurut hasil keputusannya, menjadi pedoman bertindak. Bagaimana jawaban sikap kita?
Contoh lain dalam hal kesehatan.
(2) Seseorang yang sakit berat sudah lama bertahan hidup secara biologis dengan menggunakan alat-alat medis penunjang hidup. Biaya yang mahal sudah tidak tertanggungkan lagi. Perlu keputusan: apakah mencopot semua alat medis penunjang hidup itu atau tidak, baik untuk menolong si sakit, maupun keluarga yang menopang biaya perawatan.

Bagaimana sikap kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar