Mengenai Saya

Foto saya
Seorang penggemar buku sejak remaja. Banyak baca. Sambil baca buku bahasa asing, menerjemahkan sekalian. Banyak ngobrol. Maka jadi guru, trainer dan konselor. Belajar terus supaya bisa memberi jawaban dalam banyak hal.

Rabu, 25 April 2012

BISNIS, PERUSAHAAN DAN PENGUSAHA


@Kompendium ASG
PRAKARSA PRIBADI DAN PRAKARSA BISNIS
336. Ajaran sosial Gereja memandang kebebasan pribadi di dalam hal ihwal ekonomi sebagai sebuah nilai hakiki dan sebuah hak yang tidak dapat dicabut yang harus digalakkan dan dibela. “Tiap orang berhak atas usaha ekonomi; tiap orang dapat dan harus menggunakan talenta-talentanya supaya dapat memberi sumbangan bagi kesejahteraan yang berguna bagi semua orang, dan supaya dapat menuai hasil-hasil yang adil dari jerih payahnya” (Katekismus Gereja Katolik, 2429; bdk. Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, 63: Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 48; Yohanes Paulus II, Ensiklik, Sollicitudo Rei Socialis, 1 par 5; Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercens, 1 par 7; Yohanes XXIII, Ensiklik Mater et Magistra 53). Ajaran ini memperingatkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang bisa saja muncul dari dilemahkan atau dinafikannya hak atas usaha ekonomi: “Pengalaman menunjukkan kepada kita bahwa pengingkaran hak ini, atau pembatasan terhadapnya konon demi ‘keadilan’ bagi setiap warga masyarakat, menghilangkan atau malah menghancurkan sama sekali semangat berprakarsa, yaitu subjektivitas kreatif warga negara.” (Yohanes Paulus II, Ensiklik, Sollicitudo Rei Socialis, 1 par 5 ; bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2429). Dari perspektif ini, prakarsa bebas serta bertanggung jawab di dalam ranah ekonomi dapat juga didefinisikan sebagai suatu tindakan yang menyingkapkan kemanusiaan manusia sebagai subjek yang kreatif lagi relasional. Maka, prakarsa demikian harus diberi peluang yang sebesar-besarnya. Negara memiliki kewajiban moral untuk menerapkan pembatasan-pembatasan yang tegas hanya dalam hal adanya ketidaksepadanan antara ikhtiar kepada kesejahteraan umum dan jenis kegiatan ekonomi yang diajukan atau cara kegiatansemacam itu dilaksanakan (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 16)

337. Matra kreatif merupakan sebuah unsur yang hakiki dari kegiatan manusia,juga dalam bidang usaha bisnis, dan secara khusus ditampakkan dalamsikap mengadakan perencanaan dan inovasi. “Memadukan usaha-usahaitu, merencanakan jangka waktu pelaksanaannya, seraya menjamin kesepadanannya secara positif dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhinya, dan sanggup menanggung risiko-risiko yang dituntut:semuanya ini pun merupakan sumber kekayaan yang melimpah dalam masyarakat sekarang. Begitulah menjadi semakin jelas dan semakin menentukan peran kerja manusia yang terarah dan kreatif dan, sebagai bagianhakiki kerja itu, kemampuan berprakarsa dan berwiraswasta” (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 32). Pada dasar ajaran ini kita dapat melihat keyakinan bahwa “sumber daya utama bagi manusia adalah manusia itu sendiri. Berkat kecerdasannya ia mampu menggali potensi-potensi produktif bumi dan bermacam-macam cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia” (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 32)

a. Usaha bisnis dan sasaran-sasarannya.
338. Usaha bisnis harus dicirikan oleh kesanggupannya untuk melayani kesejahteraan umum masyarakat melalui produksi berbagai barang dan jasa yang berfaedah. Dalam upaya menghasilkan barang dan jasa seturut rencana yang disasarkan demi efisiensi dan demi memenuhi kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak yang terlibat, usaha bisnis menciptakan kemakmuran bagi segenap masyarakat, bukan melulu bagi para pemilik melainkan juga bagi para pelaku lain yang terlibat di dalam kegiatan usaha bisnis bersangkutan. Selain fungsi yang khas ekonomi ini, usaha bisnis juga menjalankan sebuah fungsi sosial, dengan menciptakan berbagai peluang untuk bertemu, bekerja sama serta meningkatkan aneka kesanggupan orang-orang yang terlibat. Oleh karena itu, dalam satu usaha bisnis matra ekonomi menjadi syarat untuk menggapai tidak saja sasaran-sasaran ekonomi, tetapi juga sasaran-sasaran sosial dan moral, yang semuanya diikhtiarkan secara bersama.Sasaran dari satu usaha bisnis mesti dipenuhi dalam bingkai ekonomi dan berdasarkan kriteria ekonomi, namun nilai-nilai autentik yang menghasilkan perkembangan nyata bagi pribadi dan masyarakat mesti tidak boleh diabaikan. Seturut wawasan personalistik dan kemasyarakatan ini, “suatu usaha bisnis tidak dapat dianggap sebagai ‘serikat barang modal’ saja; ia adalah juga ‘serikat pribadi-pribadi’ di mana orang-orang berperan serta dengan berbagai cara dan masing-masing dengan beban tanggung jawabnya sendiri, entah mereka menjadi pemasok modal yang dibutuhkan bagi kegiatan bisnis atau mereka yang berperan serta dalam kegiatan tersebut melalui tenaga kerja mereka.” (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 43).

339. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan bisnis mesti mencamkan bahwa masyarakat di mana mereka bekerja mewakili sebuah kebaikan bagi setiap orang dan bukan suatu struktur yang memperbolehkan pemenuhan kepentingan pribadi semata-mata dari seseorang. Kesadaran ini saja sudah memungkinkan terbangunnya sebuah ekonomi yang sungguh-sungguh melayani umat manusia serta menciptakan program-program kerja sama nyata di antara para pihak yang berbeda-beda di dalam kerja. Salah satu contoh sangat penting dan berarti yang berkaitan dengan hal ini ditemukan dalam kegiatan yang disebut usaha-usaha koperasi, bisnis berskala kecil dan menengah, usaha niaga yang memperdagangkan produk-produk kerajinan tangan serta usaha-usaha pertanian berskala keluarga. Ajaran sosial Gereja menekankan andil yang ditunaikan kegiatan-kegiatan semacam itu guna memperkaya nilai kerja, demi pertumbuhan rasa tanggung jawab personal dan sosial, suatu kehidupan demokratis serta nilai-nilai manusia yang penting bagi kemajuan pasar dan masyarakat (Bdk. Yohanes XXIII, Ensiklik Mater et Magistra).

340. Ajaran sosial Gereja mengakui peran yang wajar dari laba sebagai indikator pertama bahwa satu usaha bisnis berfungsi dengan baik: “Bila usaha bisnis mendatangkan keuntungan maka jelaslah bahwa faktor-faktor produktif didayagunakan dengan tepat” (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 35). Namun hal ini tidak meredupkan kesadaran Gereja akan kenyataan bahwa satu usaha bisnis bisa menggantang laba tanpa melayani masyarakat sebagaimana mestinya (Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2424). Sebagai contoh, “mungkin saja perhitungan-perhitungan finansial serba beres, tetapi tidak mustahil pula orang-orang – yang merupakan modal paling berharga bagi bisnis – dinistakan dan martabat mereka dilecehkan” (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 35). Inilah yang terjadi bila usaha-usaha bisnis menjadi bagian dari sistem sosial dan sistem budaya yang dicirikan oleh eksploitasi atas manusia, cenderung menafikan kewajiban-kewajiban keadilan sosial serta melecehkan hak-hak para pekerja. Teramat pentinglah bahwa di dalam satu usaha bisnis ikhtiar yang sah untuk memperoleh laba harus diselaraskan dengan perlindungan yang tidak dapat diabaikan atas martabat orang yang bekerja pada berbagai tingkatan dalam perusahaan yang sama. Kedua sasaran ini tidak bertentangan satu sama lain, karena di satu pihak, tidaklah realistik untuk berupaya menjamin masa depan perusahaan tanpa produksi berbagai barang dan jasa yang bermanfaat dan tanpa membuat keuntungan, yang merupakan hasil dari kegiatan ekonomi yang dilaksanakan. Di lain pihak, memperkenankan para pekerja mengembangkan diri mereka sendiri akan memacu produktivitas dan efisiensi yang lebih besar di dalam kerja yang mereka laksanakan. Sebuah perusahaan bisnis mesti menjadi satu komunitas solidaritas (Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 43), yang tidak tertutup di dalam kepentingan-kepentingan perusahaan itu sendiri. Ia mesti bergerak ke arah satu “ekologi sosial” (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 38), menyangkut kerja dan memberi sumbangsih bagi kesejahteraan umum juga dengan melindungi lingkungan hidup.

341. Walaupun ikhtiar mencari laba yang wajar diterima di dalam kegiatan ekonomi dan keuangan, namun jalan pintas berupa riba harus dicela secara moral: “Orang-orang yang dengan usaha bisnisnya mengambil keuntungan berlebihan dan rakus sehingga menyebabkan sesamanya kelaparan dan mati, membunuh secara tidak langsung, untuk itu mereka bertanggung jawab” (Katekismus Gereja Katolik, 2269). Celaan ini juga mencakup relasi-relasi ekonomi internasional, khususnya yang berkenaan dengan keadaan di negara-negara yang kurang beruntung, yang mesti tidak pernah boleh dibuat menderita oleh “sistem keuangan yang semena-mena dan malah bersifat riba” (Katekismus Gereja Katolik, 2438). Agak belakangan, Magisterium memakai kata-kata yang keras dan tegas melawan kebiasaan ini, yang tragisnya masih tersebar luas, seraya melukiskan riba sebagai “sebuah momok yang juga merupakan sebuah kenyataan pada zaman kita dan yang mencekik kehidupan banyak orang” (Yohanes Paulus II, Amanat pada Audiensi Umum 4 Februari 2004, par 3: L’Osservatore Romano,edisi Inggris, 11 Februari 2004, p. 11). Berbagai usaha bisnis dewasa ini bergerak dalam konteks ekonomi yang menjadi semakin luas dan di mana negara-negara nasional mempunyai keterbatasan-keterbatasan dalam kemampuan mereka untuk mengarahkan proses-proses perubahan pesat yang mempengaruhi relasi-relasi ekonomi dan keuangan internasional. Keadaan semacam ini mendorong berbagai usaha bisnis untuk mengambil aneka tanggung jawab baru dan lebih besar daripada di masa lampau. Tidak pernah sebelumnya peran mereka sedemikian menentukan berkenaan dengan perkembangan kemanusiaan yang terpadu lagi autentik di dalam solidaritas. Sama-sama menentukan dalam arti ini adalah tingkat kesadaran mereka yaitu bahwa “pengembangan entah sama-sama dinikmati oleh setiap bagian dunia atau mengalami proses kemunduran juga di daerah-daerah yang diwarnai kemajuan terus-menerus. Itu mengungkapkan banyak tentang sifat pengembangan yang sejati: entah semua bangsa di dunia ini ikut menikmatinya atau itu bukan pengembangan yang sejati” (Yohanes Paulus II, Ensiklik, Sollicitudo Rei Socialis, 17).

b. Peran para pemilik dan manajemen usaha bisnis
343. Prakarsa ekonomi merupakan suatu ungkapan tentang kecerdasan manusia dan keniscayaan untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia secara kreatif dan kooperatif. Kreativitas dan kerja sama merupakan tanda dari pemahaman yang autentik tentang persaingan usaha, sebuah “cumpetere”, yaitu suatu ikhtiar bersama mencari jalan-jalan keluar yang paling tepat untuk menjawab secara paling baik aneka ragam kebutuhan pada saat kebutuhan-kebutuhan itu muncul. Rasa tanggung jawab yang timbul dari prakarsa ekonomi bebas tidak saja berbentuk sebuah kebajikan individual yang dituntut bagi pertumbuhan insani perorangan, tetapi juga sebuah kebajikan sosial yang mutlak diperlukan untuk perkembangan suatu masyarakat di dalam solidaritas. “Dalam proses itu diperlukan kebajikankebajikan yang cukup penting, misalnya: kecermatan, ketekunan, kebijaksanaan dalam menanggung risiko-risiko yang wajar, sifat andal dan kesetiaan dalam hubungan-hubungan antarpribadi, keberanian dalam melaksanakan keputusan-keputusan yang sukar dan meminta pengorbanan namun memang perlu untuk penyelenggaraan usaha bisnis secara menyeluruh maupun untuk menghadapi kemungkinan kondisikondisi yang tidak menguntungkan”(Yohanes Paulus II, Ensiklik, Centesimus Annus, 32).

344. Para pemilik dan manajemen usaha bisnis memiliki suatu peran sentral dari sudut pandang masyarakat, karena mereka berada pada intipati jejaring rupa-rupa simpul teknis, niaga, keuangan dan budaya yang menjadi ciri khas realitas bisnis modern. Oleh karena semakin meningkatnya kompleksitas kegiatan-kegiatan bisnis, maka berbagai keputusan yang diambil perusahaan-perusahaan menghasilkan sejumlah dampak sangat penting yang saling berkaitan, baik dalam ranah ekonomi maupun ranah sosial. Karena alasan ini maka pelaksanaan tanggung jawab oleh para pemilik dan manajemen usaha bisnis menuntut – selain pemutakhiran khusus yang menjadi sasaran upaya-upaya yang berkelanjutan – refleksi yang berkanjang atas motivasi-motivasi moral yang seharusnya membimbing pilihan-pilihan pribadi dari orang-orang yang mengemban tugas-tugas ini. Para pemilik dan manajemen usaha bisnis mesti tidak boleh membatasi diri mereka sendiri untuk semata-mata mengindahkan sasaran-sasaran ekonomi dari perusahaan bersangkutan, kriteria bagi efisiensi ekonomi serta pemeliharaan yang tepat atas “modal” sebagai keseluruhan sarana produksi. Termasuk pula kewajiban mereka yang sesungguhnya ialah untuk menghormati secara konkret martabat manusia dari orang-orang yang bekerja di dalam perusahaan itu (Bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2432). Para pekerja ini merupakan “modal perusahaan yang paling berharga” (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 35) dan faktor produksi yang paling menentukan (Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 32-33). Dalam keputusan-keputusan penting yang berkenaan dengan strategi dan keuangan, dalam keputusan-keputusan untuk membeli atau menjual, melakukan perombakan, menutup atau menggabung satu pabrik, kriteria finansial dan komersial mesti tidak boleh menjadi satu-satunya pertimbangan yang diambil.

345. Ajaran sosial Gereja menekankan perlunya bagi para pemilik dan manajemen usaha bisnis untuk berusaha menata kerja sedemikian rupa sehingga memajukan keluarga, khususnya para ibu, di dalam pemenuhan tugas-tugas mereka (Bdk. Yohanes Paulus II, Ensiklik Laborem Exercens, 19); menyetujui, dalam terang wawasan yang terpadu tentang manusia dan pembangunan, tuntutan bagi mutu “hasil-hasil produksi dan barang-barang untuk konsumsi; mutu jasa pelayanan yang dimanfaatkan oleh umum, mutu lingkungan dan kehidupan pada umumnya” (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 36); melakukan investasi, bila terpenuhi syarat-syarat ekonomi dan kondisi stabilitas politik yang mutlak diperlukan, di berbagai tempat dan sektor produksi yang menyajikan bagi orang perorangan dan bangsa-bangsa “sebuah kesempatan untuk mendayagunakan tenaga kerja mereka sendiri” (Yohanes Paulus II, Ensiklik Centesimus Annus, 36).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar